Ketahui Sejarah Pengelolaan Lahan Rawa Di Indonesia
Kawasan budidaya bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan atas dasar kondisi dan potensisumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Bila lahan gambut mempunyai ketebalan >3 m, maka lahan tersebut tidak boleh dikembangkan (harus dilindungi). Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14 Tahun 2009 mengatur pemanfaatan lahan gambut untuk kelapa sawit, yaitu membatasi pemanfaatan lahan tersebut tidak saja karena terkait dengan masalah ketebalan gambut, tetapi juga substratum tanah mineral di bawah gambut, tingkat kematangan dan kesuburan lahan rawagambut, serta aturan yang belaku. Hutan rawa-gambut yang dapat dimanfaatkan adalah hutan rawa-gambut yang dapat dikonversi dan lahan rawa-gambut di area hutan yang telah dilepas untuk penggunaan lain. Kriteria tersebut di atas banyak diperdebatkan karena adanya beberapa kelemahan. Berdasarkan kenyataan di lapangan bahwa lahan gambut dengan ketebalan >3 m masih memberikan hasil yang baik terutama yang diusahakan untuk tanaman tahunan dengan tidak memberikan dampak lingkungan yang berarti (bila dikelola dengan baik melalui penerapan teknologi tepat guna). Pendapat bahwa pemanfaatan gambut dengan ketebalan > 3 m tidak memberikan dampak lingkungan yang berarti telah didukung oleh pendapat Hooijer et al. [2012]1 ; Sabiham et al. [2012]; dan Othman, 2009]. Hooijer et al. [2012] melaporkan bahwa secara statistik hubungan antara kecepatan subsiden (sekitar 5 cm dalam satu tahun) dan ketebalan gambut adalah tidak nyata (R2 = 0.002). Sabiham et al. [2012]2 menunjukan tebal gambut tidak berkorelasi nyata dengan emisi CO2. Gas tersebut hanya terbentuk pada dan diemisikan dari lapisan oksidasi. Demikian pula dari laporan Othman [2009]3 menunjukkan bahwa produksi TBS (tandan buah segar) tidak banyak dipengaruhi oleh ketebalan gambut. Dapat disimpulkan bahwa yang banyak.
Perkembangan tanaman perkebunan ternyata lebih pesat dibanding tanaman pangan karena nilai tukar tanaman pangan yang rendah, sehingga banyak petani mengkonversi lahan sawahnya menjadi lahan perkebunan, terutama menjadi kebun sawit. Beberapa petani transmigran di Bungaraya, Kabupaten Siak, Riau, yang awalnya menanam padi, terpaksa mengkonversi lahan sawah garapannya menjadi kebun sawit karena padi tidak tinggi nilai jualnya, walaupun prasarana untuk pengembangan sawah beririgasi telah tersedia. Oleh karena itu untuk kondisi seperti ini perlu ada kebijakan khusus bagi petani padi agar mereka tidak mengkonversi lahan sawahnya menjadi non-sawah. Subsidi output menjadi perlu dipertimbangkan secara seksama oleh pemerintah agar pendapatan petani padi menjadi seimbang dengan pendapatan petani tanaman tahunan yang lebih menguntungkan. Alasan lain kenapa petani padi sawah mengkonversi lahannya ke tanaman tahunan adalah karena lahan tersebut terlalu kering sehingga tidak memungkinkan lagi ditanami padi.
Contoh ini terjadi di daerah transmigrasi Rantau Rasau, Jambi, dimana lahan padi sawah dikonversi oleh petani menjadi areal perkebunan kelapa dan atau kelapa sawit. Seperti diketahui, perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak hanya milik perkebunan swasta, tetapi banyak juga milik petani (small holder). Perkebunan sawit milik petani secara keseluruhan mencapai lebih 40% dari total luas perkebunan kelapa sawit di Tanah Air, sedangkan perkebunan milik BUMN tidak melebihi 10%. Tanaman kelapa sawit di lahan gambut tebal (ketebalan > 3 m) masih menunjukkan pertumbuhan yang baik bila dilakukan pengelolaan air yang baik. Salah satu perkebunan kelapa swasta di Riau telah menerapkan teknologi tata air yang baik di lahan gambut dengan menggunakan water tight stop-log sederhana tetapi efektif untuk mempertahankan tinggi muka air tanah (ground water level) setinggi 60 cm di bawah permukaan tanah pada kondisi maksimum pada saat musim kemarau. Dengan metode tata air tersebut diatas, kerusakan gambut dapat ditekan dan produksi TBS yang dihasilkan cukup tinggi (> 20 ton TBS per hektar).
Proyek transmigrasi di daerah ini dimulai tahun 1969 di bawah proyek P4S (Proyek Pengembangan Persawahan Pasang Surut) Departemen PUTL, sekarang Kementerian PUPR. Pada awalnya tujuan proyek ini adalah untuk pengembangan sawah dalam rangka program peningkatan ketahanan pangan. Sumber air diharapkan berasal dari pengaruh naiknya air sungai karena adanya pasang air laut, disamping fungsi saluran sebagai saluran drainase. Tetapi dengan berjalannya waktu, perkembangan pertanaman bergeser ke tanaman tahunan, terutama kelapa (coconut) yang ditanam petani di lahan sawahnya. Ketidaksesuaian dengan tujuan tersebut lebih disebabkan karena masalah sistem saluran yang tidak menunjang untuk persawahan. Ukuran saluran relatif terlalu besar sehingga fungsi drainase menjadi lebih signifikan dari pada fungsi suplai.
Bahkan air masuk ke petakan sawah yang diharapkan berasal dari pengaruh naiknya pasang air laut sejak tahun 2008 umumnya menjadi tidak ada. Hanya di daerah-daerah rendahan saja yang masih ada airnya, itu juga berasal dari tadah hujan. Page | 6 Sejak tahun 2008, sudah terlihat adanya perkembangan tanaman kelapa sawit. Ini menunjukkan bahwa petani cenderung memilih tanaman yang lebih menguntungkan, di samping tanamannya itu sendiri mampu beradaptasi pada kondisi air tanah yang relatif kering. Walaupun ada sebagian masyarakat yang kurang optimis melihat kekurangberhasilan yang dialami di ex-PLG, akan tetapi dalam melihat persoalan secara keseluruhan haruslah mengevaluasi kondisi objektif pada ex-proyek tersebut. Dari hasil evaluasi kemudian dibuat kegiatan-kegiatan untuk memberdayakan masyarakat di tempat tersebut. Petani transmigran yang ditempatkan di Palingkau dan Dadahup misalnya sudah mulai merasakan perubahan kearah yang lebih baik. Kegiatan pembinaan masyarakat untuk lebih berinovasi dalam usaha pertanian di kedua tempat tersebut terus dilakukan oleh instansi terkait (Pertanian dan Transmigrasi) secara intensif. Dengan bantuan pengarahan dan percontohan dari Balai Penelitian Pertanian Rawa, Banjarbaru dan BPTP Kalimantan Tengah, para petani di Palinkau dan Dadahup saat ini sudah bisa bangkit dan merasakan hasilnya. Walaupun demikian, selain di Palinkau dan Dadahup, masih perlu pengkajian yang serius, apakah pemanfaatan harus distop (terutama untuk gambut sangat tebal) atau dilanjutkan (terutama untuk daerah-daerah yang mempunyai potensi pengembangan).
Untuk lahan rawa-gambut yang mempunyai endapan pasir kwarsa dibawah bahan gambut umumnya tidak bisa dikembangkan, bukan hanya karena tingkat kesuburan gambutnya sangat miskin, tetapi juga daya dukung terhadap pengembangan pertanian sangat rendah, terutama untuk pengembangan perkebunan. Fakta berikutnya adalah bahwa saluran yang dibuat sangat besar dan telah memberi peluang percepatan pengeringan lahan gambut in situ. Untuk lahan gambut yang mempunyai endapan tanah mineral ber-pirit (mengandung bahan mineral FeS2) tidak dianjurkan untuk dikembangkan, karena bila lapisan tersebut teroksidasi maka akan berubah menjadi sulfat masam dan akan mempengaruhi bahan gambut yang di atasnya menjadi sangat masam karena adanya peningkatan kandungan SO4 dari hasil oksidasi FeS2. Setelah lebih dari 20 tahun lahan gambut ex-PLG dibuka, kondisi fisiknya khususnya saluran yang telah dibuat terlihat banyak yang sudah tidak berfungsi karena sumber air di saluran umumnya hanya berasal dari air hujan. Saluran yang dibuat hanya berfungsi sebagai saluran drainase. Akibatnya sebagian besar dari lahan gambut menjadi kering, terutama bila datang musim kemarau, sehingga daya dukung lahan terhadap kegiatan budidaya pertanian menjadi sangat rendah. Lahan gambut yang dibuka menjadi tidak berfungsi. Ke depan perlu ada perbaikan tata saluran yang lebih baik dengan memperhatikan mikro-topografi lahan, terutama untuk lahan gambut yang masih berpotensi (ditinjau dari kondisi hidro-topografinya) untuk dikembangkan. Untuk yang tidak berpotensi sebaiknya dihutankan kembali melalui kegiatan re-wetting (salah satunya) dan/atau canal blocking melalui kebijakan restorasi gambut.
Komentar
Posting Komentar